google-site-verification: googlec5777bca784da383.html Membangun Rasa Percaya Diri | editan blog

Pada sebuah sesi pelatihan kepribadian, saya meminta salah seorang peserta menceritakan pengalamannya. Gita, sebut saja begitu, tampak antusias selama sesi-sesi pelatihan. Ia seakan mendapat pembenaran teoritis dari apa yang ia lakukan dan alami dalam setahun ini. Ia merasa, kini ia telah banyak berubah.

Kekurangan sebagai ujian
Gita terlahir sebagai anak ke tiga dari lima bersaudara, kakak tertuanya seorang wanita, dan kakak keduanya seorang pria. Karenanya, Gita merasa lebih dekat dengan kakak perempuannya ini. Tidak hanya itu, Gita pun sangat mengagumi Yuni, sang kakak. Dalam pandangannya, Yuni wanita yang sempurna, ia cantik, pintar dan pandai bergaul. Gita pun ingin menjadi seperti sang kakak.

Sayangnya, Gita tak pernah bisa menyamai kakaknya itu. Prestasinya di sekolah tak menonjol, ia juga tak pernah menjadi gadis popular, baik di sekolah maupun di kampus. Ia benar-benar frustasi dengan diri sendiri. Ia merasakan bagaimana ia menjalani hidup dengan rasa marah dan menyesali diri.

Sebenarnya, apa yang dimiliki Gita tidaklah ‘jelek-jelek amat’. Ia memiliki warna kecantikannya sendiri. Nilainya pada mata pelajaran sosial dan budaya juga baik. Temannya pun cukup banyak. Ini pun diakui oleh Gita. “Tapi entahlah waktu itu saya benar-benar berada di bawah bayang-bayang kakak yang saya kagumi itu. Selalu saja muncul dalam pikiran saya waktu itu, ‘Kenapa sih saya tak bisa seperti kakak?’ Kakak memang hebat dan saya tak ada apa-apanya dibanding dia.”

Gita pun tumbuh menjadi orang yang rendah diri, tak berani mengambil keputusan, termasuk untuk diri sendiri dan selalu takut gagal. Ia juga sangat sensitif dan penyedih. Perasaan ini tertanam selama bertahun-tahun, sehingga menurut pengakuannya, ia agak terlambat menikah padahal sudah ada beberapa pria yang meminangnya. Ia baru berani menikah setelah didesak terus menerus oleh orang tuanya yang telah mencarikan jodoh untuknya. Syukur, pernikahan itu membawa berkah bagi Gita.

“Saya sangat bersyukur dikarunia suami yang penyabar,” kata Gita. Tidak hanya itu , sang suami ternyata begitu telaten menumbuhkan kepercayaan diri Gita. Menurut Gita, sang suami terus berupaya menunjukkan begitu banyak karunia yang Allah berikan kepadanya. “Git, kamu itu memang tidak seperti kakakmu. Tapi bukan berarti kamu tidak punya kelebihan. Kamu punya kelebihan yang tak dimiliki kakakmu.” Kata-kata ini sering diucapkan suaminya setiap kali Gita mulai membanggakan sang kakak dan menghina diri sendiri. Biasanya Ahmad - suaminya - kemudian mulai ‘menjembreng’ sejumlah kelebihan yang dimiliki Gita.

Apa yang dilakukan Ahmad, perlu diacungi jempol (dan tentu saja didoakan agar ia mendapat pahala), karena, setiap orang perlu sadar bahwa dirinya memiliki kekurangan dan juga kelebihan. Kemudian ia bersyukur dengan kelebihannya itu dan bersabar dengan kekurangannya. Ia juga perlu sadar bahwa kekurangan itu diberikan Allah sebagai ujian, apakah kita mau bermujahadah memperbaiki diri. Sedang kelebihan itu adalah ujian untuk mengetahui apakah kita mau berkontribusi dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Orang yang merasa rendah diri selalu menganggap dirinya tumpukan kekurangan, tak satupun kelebihan yang ia miliki. Akibatnya ia merasa tak dapat berperan banyak di lingkungannya. Yang terberat ia merasa dirinya menjadi beban lingkungan. Kondisi seperti ini tidak membuat seseorang jadi lebih berhati-hati dalam bertindak, tapi malah membuatnya sering melakukan kesalahan dan tak mampu berbuat apa-apa.

Alllah SWT tentu tidak suka dengan sikap rendah diri. Allah berfirman, “Jangan engkau merasa hina dan jangan bersedih, kalian itu mulia sekiranya kalian beriman.” Allah juga mengisahkan kemurkaanNya kepada Bani Israil yang tak mau disuruh berperang bersama Nabi Musa as. Mereka merasa, kekuatan mereka tak ada apa-apanya bila dibandingkan kekuatan musuh.

Padahal Allah telah menjanjikan pertolonganNya jika mereka mau mengikuti perintah Allah tersebut.
Namun begitu, memperbaiki sikap ini bukan perkara mudah. Nabi Musa pun harus bersusah payah membangun kepercayaan diri umatnya. Bani Israil memang terjangkiti penyakit bangsa terjajah, mereka merasa terhina, lemah dan tak berdaya. Musa terus berupaya menanamkan keimanan umatnya kepada Allah, mengajarkan jika seorang hamba bertawakal kepada Allah, pasti Allah akan memberikan kekuatan kepadanya.

Mengembangkan bakat dan minat
Sulitnya membangun kepercayaan diri ini – tentunya dalam skala yang berbeda - juga dirasakan oleh Gita. Awalnya ia malah tersinggung ketika sang suami mulai meyanjung-nyanjungnya, “Gombal !” katanya dalam hati. Tapi, suaminya bukan hanya mengobral kegombalan.“ Ia benar-benar membimbing saya untuk mengakui karunia Allah dalam diri saya,” tutur Gita. Dia didorong untuk mengembangkan minat dan bakat yang selama ini tak pernah ia pedulikan. Mulanya, Ahmad mengundang teman-temannya untuk sebuah syukuran kecil di rumah. Ia meminta Gita membuat kue. Ternyata hasilnya cukup sempurna. Seluruh tamu suka dengan kue buatan Gita.

Teman-teman Ahmad pun meminta dibuatkan kue oleh Gita. Maka mulailah Gita asyik membuat kue. Menemukan minat dan bakat menjadi salah satu pintu masuk untuk membangun kepercayaan diri. Penemuan ini bisa jadi direkayasa atau karena sebuah peristiwa yang tak disengaja. Sampai saat ini Gita sendiri tak tahu apakah suaminya memang merekayasa syukuran kecil itu untuk menampilkan bakat membuat kue Gita. Atau itu momen syukuran biasa.

Langkah berikutnya adalah mengembangkan bakat dan minat tersebut. Ini cukup sulit, karena yang bersangkutan harus mengubah gaya berfikirnya terhadap diri sendiri. Jika selama ini ia selalu membandingkan diri sendiri dengan orang lain, maka kebiasaan ini harus ia tinggalkan. Ia harus menanamkan pemikiran, “Inilah diriku dan dengan izin Allah aku akan mengembangkan apa yang kupunya.” Dalam posisi ini lingkungan hanya bisa mendorong. Diri sendirilah yang menentukan apakah ia akan bergerak maju atau tidak.

Gaya berfikir Gita kini mulai berubah. Dorongannya untuk melangkah maju pun muncul. Secara perlahan Gita mulai menemukan dirinya. Ia mulai percaya bahwa Allah juga mengkaruniainya dengan kelebihan. Ia pun mulai dapat menerima kata-kata suaminya yang berusaha menunjukkan kelebihannya. Rasa syukur itu telah membukakan mata Gita, bahwa ia tak seburuk yang ia sangka. Ia tampak lebih riang dan berani membuat keputusan. Ia pun mulai aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. “Kini saya lebih berupaya untuk mensyukuri apa yang telah Allah berikan,” katanya menutup cerita.